Sedikit sejarah tentang Kota Banda Aceh.
Setelah
masuk dalam pangkuan Pemerintah Republik Indonesia, baru sejak 28 Desember 1962
nama kota ini kembali diganti menjadi Banda Aceh. Ini berdasarkan Keputusan
Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah bertanggal 9 Mei 1963 No. Des
52/1/43-43. Sebelumnya, daerah ini masih menyandang nama Kuta Raja, nama Kuta
Raja diproklamirkan oleh Gubernur Hindia Belanda Van Swieten. Pergantian nama
itu dilakukan pada 24 Januari 1874 setelah Belanda berhasil menduduki istana
setelah jatuhnya kesultanan Aceh.
Kutaraja
didirikan Belanda adalah sebagai langkah awal Belanda dari usaha penghapusan
dan penghancuran kegemilangan Kerajaaan Aceh Darussalam. Pergantian nama itu
kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal di Batavia dengan beslit yang
bertanggal 16 Maret 1874.
Kemudian
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1983 tentang perubahan batas
wilayah Banda Aceh, luas wilayah menjadi 61,36 Km2 yang dibagi ke dalam empat
kecamatan, yaitu: Kecamatan Kuta Alam, Kecamatan Baiturrahman, Kecamatan
Meuraxa, dan Kecamatan Syiah Kuala.Pada tahun 2000 sejumlah kecamatan kembali
dimekarkan, sesuai Peraturan Daerah Kota Banda Aceh Nomor 8 Tahun 2000.
Kecamatan bertambah lagi menjadi 5 kecamatan sehingga seluruhnya menjadi 9
kecamatan, yaitu Kecamatan Kuta Alam, Kecamatan Baiturrahman, Kecamatan
Meuraxa,, Kecamatan Banda Raya, Kecamatan Jaya Baru, Kecamatan Ulee Kareng,
Kecamatan Kuta Raja, dan Kecamatan Lueng Bata, Kecamatan Syiah Kuala.
Selain
sebagai pusat pemerintahan kota Banda Aceh, juga menjadi pusat segala kegiatan
ekonomi, politik, sosial dan budaya. Menurut catatan sejarah, dikutip dari
berbagai sumber seperti situs wikipedia.org, Banda Aceh sebagai ibukota
Kesultanan Aceh Darussalam lahir ketika Kerajaan Samudera Pasai sedang berada
di ambang keruntuhan. Kesultanan Aceh Darussalam dibangun di atas puing-puing
kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang pernah ada sebelumnya, seperti Kerajaan
Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura
(Indrapuri).
Dari batu
nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah
Kesultanan Aceh, didapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh beribukota di
Kutaraja. Pendiri sekaligus penguasa pertama Kesultanan Aceh adalah Sultan Ali
Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 Hijriah atau
tanggal 8 September 1507 Masehi.Keterangan mengenai keberadaaan Kesultanan Aceh
Darussalam semakin terkuak dengan ditemukannya batu nisan yang ternyata adalah
makam Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu nisan pendiri Kesultanan Aceh
Darussalam yang berada di Kandang XII Banda Aceh ini, disebutkan bahwa Sultan
Ali Mughayat Syah meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada
7 Agustus 1530.
Selain itu,
ditemukan juga batu nisan lain di Kuta Alam, yang merupakan makam ayah Sultan
Ali Mughayat Syah, yaitu Syamsu Syah, yang menyebutkan, bahwa Syamsu Syah wafat
pada 14 Muharram 737 Hijriah. Sebuah batu nisan lagi yang ditemukan di Kuta
Alam adalah makam Raja Ibrahim yang kemudian diketahui bahwa ia adalah adik
dari Sultan Ali Mughayat Syah.
Sultan
Iskandar Muda menjadikan Banda Aceh sebagai taman dunia, yang dimulai dari
komplek istana. Komplek istana Kesultanan Aceh juga dinamai Dar’ad-Dunnia
(Taman Dunia). Kitab Bustanus Salatin yang diselesaikan oleh Nuruddin Ar-Raniry
pada tahun 1636 menyebutkan bahwa bagian timur Istana Aceh merupakan taman yang
sangat luas. Di tengah taman tersebut telah diperintahkan untuk digali sungai
yang dibina menjadi tempat pemandian, dengan tebing yang diturap dengan batu
dan memiliki bejana-bejana pancuran air.
Di dalam
taman tersebut terdapat 4 monumen:
- bangunan berarsitektur Cina yang
dibangun para ahli dari Cina dan dinamai Balai Rekaan Cina sebagai simbol
hubungan khusus antara Kesultanan Aceh dengan Kekaisaran Cina,
- bangunan
perjamuan makan untuk pada tamu kenegaraan yang dinamai Balai Gading,
- Balai
Kembang Cahaya,
- Balai Keemasan untuk peristirahatan. Sayangnya kesemua
bangunan ini diperkirakan dijarah saat agresi Belanda.
Bagian
tengah dari taman tersebut adalah sebuah monumen berbentuk gunung yang saat ini
dikenal dengan nama Gunongan dengan tinggi 9,5 meter, berbentuk bunga tiga
tingkat, yang memiliki pintu seperti gua. Di sisinya terdapat sebuah batu
berukir dengan motif arabesque di tepi sungai tempat putri mencuci rambut
(dinamakan batu peterana Kembang Lela Mashadi).
Naskah Bustanus Salatin juga menyebutkan bahwa di dalam taman dan di dekat
sungai tersebut terdapat sebuah monumen berukir kembang seroja dan berwarna
nila untuk pelantikan Sultan yang dinamai Peterana Kembang Seroja. Gerbang
memasuki taman tersebut dinamakan masyarakat dengan nama Pinto Khob.
Bangunan
pintu Khop dibuat dari bahan kapur dengan rongga sebagai pintu dan
langit-langit berbentuk busur untuk dilalui dengan arah timur dan barat. Bagian
atas pintu masuk berhiaskan dua tangkai daun yang disilang, sehingga
menimbulkan fantasi (efek) stiliran figur wajah dengan mata dan hidung serta
rongga pintu sebagai mulut. Taman ini disebutkan juga ditanami oleh pohon-pohon
peneduh dan beragam bunga yang terus memberikan aroma wangi.
Pemimpin
terbesar Kesultanan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda, akhirnya meninggal
dunia pada 28 Rajab 1046 Hijiriah atau 27 Desember 1636 Masehi, dalam usia yang
relatif masih muda, 46 tahun. Iskandar Muda dikuburkan dalam komplek istana
Darud Donya, yang kini berada di sisi kiri Pendopo Gubernur Aceh. Bukti – bukti
peninggalan tersebut masih ada hingga sekarang.
Setelah era
kebesaran Sultan Iskandar Muda berakhir, Aceh mulai terlibat konflik dengan
Belanda dan Inggris. Pada 26 Maret 1873, Belanda secara resmi menyatakan perang
terhadap Aceh. Dalam perang tersebut, Belanda gagal menaklukkan Aceh dan untuk
pertama kali dalam sejarah nusantara, seorang pimpinan perang Belanda gugur di
tangan pribumi. Pada 1883, 1892 dan 1893, perang kembali meletus, namun,
Belanda hanya dapat menguasai dan mengamankan Banda Aceh untuk kepentingannya.
Bila kita berbincang mengenai wisata yang menyimpan sejarah tentang Aceh, ada beberapa tempat yang menunjukkan bukti kebenaran sejarah itu. Dalam tulisan ini setidaknya ada 8 tempat yang ramai dikunjungi oleh para wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara. Menanggapi hal itu pihak pemerintah khususnya bidang pariwisata perlu melakukan pembangunan, pembenahan, dan perawatan untuk memajukan wisata Aceh. Tempat-tempat yang bersejarah tersebut adalah :
Masjid
ini merupakan saksi bisu sejarah Aceh, terletak di pusat kota Banda
Aceh dan merupakan kebanggaan masyarakat Aceh. Masjid Raya Baiturrahman
adalah simbol religius, keberanian dan nasionalisme rakyat Aceh. Masjid
ini dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636), dan merupakan
pusat pendidikan ilmu agama di Nusantara. Pada saat itu banyak pelajar
dari Nusantara, bahkan dari Arab, Turki, India, dan Parsi yang datang
ke Aceh untuk menuntut ilmu agama. Mesjid ini merupakan markas
pertahanan rakyat Aceh ketika berperang dengan Belanda (1873-1904).
Pada saat terjadi Perang Aceh pada tahun 1873, masjid ini dibakar habis
oleh tentara Belanda. Pada saat itu, Mayjen Khohler tewas tertembak di
dahi oleh pasukan Aceh di pekarangan Masjid Raya. Untuk mengenang
peristiwa tersebut, dibangun sebuah monumen kecil di depan sebelah kiri
Masjid Raya, tepatnya di bawah pohon ketapang. Enam tahun kemudian,
untuk meredam kemarahan rakyat Aceh, pihak Belanda melalui Gubernur
Jenderal Van Lansnerge membangun kembali Masjid Raya ini dengan
peletakan batu pertamanya pada tahun 1879. Hingga saat ini Masjid Raya
telah mengalami lima kali renovasi dan perluasan (1879-1993).
Dibangun
Pada masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Pinto Khop merupakan pintu
penghubung antara Istana dan Taman Putroe Phang. Pinto Khop ini
merupakan pintu gerbang berbentuk kubah. Pintu Khop ini merupakan tempat
beristirahat Putri Phang, setelah lelah berenang, letaknya tidak jauh
dari Gunongan, disanalah dayang-dayang membasuh rambut sang permaisuri.
Disana juga terdapat kolam untuk sang permaisuri mandi bunga. Ditempat
itu pula oleh Sultan dibangun sebuah perpustakaan dan menjadi tempat
sang permaisuri serta Sultan menghabiskan waktu sambil membaca buku
selepas berenang, keramas dan mandi bunga.
Pinto Khop adalah Taman yang dibuat oleh Sultan Iskandar Muda untuk Putri Pahang. Putri Pahang adalah Istri raja Pahang yang sangat cantik. Karena ada sengketa dikerajaan pahang maka putri pahang diberikan kepada Sultan Iskandar Muda untuk dijadikan Istri, sebagai persembahan untuk kesenangan putri dibuatlah taman tersebut,Terdapat juga bangunan yang disebut Gunongan saat setelah selesai dibuat kemudian dikapur putih oleh penduduk dengan jalan tiap tiap penduduk datang kesitu untuk mencalitkan kapur yang dibawa oleh calitan jarinya, masing masing “Saboh Cilet” atau satu calit.
Gunongan merupakan simbol dan kekuatan cinta Sultan Iskandar Muda kepada permaisurinya yang cantik jelita, Putri Phang (Putroe Phang) yang berasal dari Pahang, Malaysia. Alkisah, Putroe Phang sering
merasa kesepian di tengah kesibukan sang suami sebagai kepala
pemerintahan. Ia selalu teringat dengan kampung halamannya di Pahang.
Sang suami memahami kegundahan permaisurinya. Untuk membahagiakan sang
permaisuri, ia membangun sebuah gunung kecil (Gunongan) sebagai
miniatur perbukitan yang mengelilingi istana Putroe Phang di
Pahang. Setelah Gunongan selesai dibangun, betapa bahagianya sang
permaisuri. Hari-harinya banyak dihabiskan dengan bermain bersama
dayang-dayang di sekitar Gunongan, sambil memanjatinya. Gunongan
terletak di Jalan Teuku Umara berhadapan dengan lokasi perkuburan
serdadu Belanda (Kerkoff).
Gunongan ini dibangun pada Abad ke-17 ini, Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang memerintah tahun 1607-1636. Sultan Iskandar Muda berhasil menaklukkan Kesultanan Johor dan Kesultanan Pahang di Semenanjung Malaka. Putri Kerajaan yang di bawa oleh Sultan Iskandar Muda dari Pahang yang sangat cantik parasnya dan halus budi bahasanya, Membuat Sultan Iskandar Muda jatuh cinta dan menjadikannya sebagai permaisuri. Demi cintanya yang sangat besar, Sultan Iskandar Muda bersedia memenuhi keinginan permaisurinya untuk membangun sebuah taman sari yang sangat indah, lengkap dengan Gunongan sebagai tempat untuk menghibur diri agar kerinduan sang permaisuri pada suasana pegunungan ditempat asalnya terpenuhi.
Taman
Sari merupakan tempat bermain yang ramai dikunjungi oleh masyarakat
dengan lokasi yang berada tidak jauh dari Mesjid Raya Kota Banda Aceh,
Taman Sari merupakan salah satu tempat favorit di Kota Banda Aceh dengan
fasilitas yang tersedia antara lain : mempunyai taman yang luas dan
tertata rapi dengan aneka permainan gratis bagi anak-anak dan juga
tersedia hot spot gratis sehingga setiap orang dapat mengakses internet
serta di dukung oleh bangunan gedung untuk menunjang tempat ini sebagai
pusat kegiatan masyarakat.
Museum
dan Rumah Adat Aceh. Kota Banda Aceh memiliki sebuah Museum Negeri yang
terletak di kompleks. Museum dari bangunan utama dari rumah tradisional
Aceh, yang dibangun pada tahun 1914 untuk Pameran Venues di Semarang,
yang kemudian dibawa kembali ke Banda Aceh pada tahun 1915 oleh Gubernur
Van Swart (Belanda), yang kemudian membuat Museum. Rumoh Aceh merupakan
rumah panggung pintu sempit, tetapi di dalam ruangan tidak terisolasi.
Banyak peninggalan Kerajaan aceh masih tersimpan rapi di museum.
Saat ini Museum Negeri Aceh merupakan museum yang dikelola oleh Pemerintah dan
sebagai tempat penyimpanan berbagai benda bersejarah, baik dari masa kerajaan
hingga masa kemerdekaan. Koleksi yang ada di museum ini antara lain: Stempel
Kerajaan Aceh, Replika Makam Malikul Saleh, naskah kuno, Mata Uang Kerajaan
Aceh dan lain-lain.
Koleksi penting lain yang berada di museum ini adalah Lonceng Cakra Donya.
Mengenai keberadaan Lonceng Cakra Donya terdapat beberapa versi. Salah satunya,
berdasarkan angka tahun yang terdapat di bagian atasnya dapat diketahui bahwa
Lonceng ini merupakan hadiah dari Kaisar Cina kepada Sultan Aceh dalam rangka
mengikat persahabatan. Menurut Kremer dalam bukunya Aceh I bahwa Lonceng Cakra
Donya ini telah dibuat dalam tahun 1469. Lonceng ini berukuran lebih kurang
1,25 meter tinggi dan mempunyai lebar 0,75 meter. Pada tanggal 2 Desember 1915
pada masa Gubernur H.N.A Swart menguasai istana kerajaan memberi perintah untuk
menurunkan lonceng dari Pohon Ba’glondong karena khawatir pohon tersebut patah
dan lonceng akan rusak, sehingga lonceng itu diletakkan di tanah. Lonceng itu
diturunkan oleh orang-orang Cina, karena orang menganggap lonceng tersebut
berhantu.
Pesawat
Seulawah yang dikenal RI-1 dan RI-2 merupakan bukti nyata dukungan yang
diberikan masyarakat Aceh dalam proses perjalanan Republik Indonesia
dalam mempertahankan kemerdekaannya, Pesawat Seulawah yang menjadi cikal
bakal Maskapai Garuda Indonesia Airways disumbangkan melalui
pengumpulan harta pribadi masyarakat dan saudagar aceh sehingga Presiden
Soekarno menyebut "Daerah
Aceh adalah Daerah Modal bagi Republik Indonesia, dan melalui
perjuangan rakyat aceh seluruh Wilayah Republik Indonesia dapat direbut
kembali".
Pesawat Seulawah dibeli dengan harga US$120.000 dengan kurs pada saat
itu atau kira-kira 25 Kg emas dan untuk mengenang jasa masyarakat aceh
tersebut maka di buat replika pesawat seulawah yang berada di Lapangan
Blang Padang Kecamatan Baiturrahman Banda Aceh.
- Makam Sulthan Iskandar Muda
Sultan
Iskandar Muda merupakan tokoh penting dalam sejarah Aceh. Aceh pernah
mengalami masa kejayaan, kala Sultan memerintah di Kerajaan Aceh
Darussalam pada tahun 1607-1636 ia mampu menempatkan kerajaan Islam Aceh
di peringkat kelima di antara kerajaan terbesar Islam di dunia pada
abad ke 16. Saat itu Banda Aceh yang merupakan pusat Kerajaan Aceh,
menjadi kawasan bandar perniagaan yang ramai karena berhubungan dagang
dengan dunia internasional, terutama kawasan Nusantara di mana Selat
Malaka merupakan jalur lalu lintas pelayaran kapal-kapal niaga asing
untuk mengangkut hasil bumi Asia ke Eropa. Beliau bisa bertindak adil,
bahkan terhadap anak kandungnya. Dikisahkan, Sultan memiliki dua orang
putera/puteri. Salah satunya bernama Meurah Pupok yang gemar pacuan
kuda.Tetapi buruk laku Meurah, dia tertangkap basah sedang berselingkuh
dengan isteri orang. Yang menangkap sang suami, di rumahnya sendiri
pula. Sang suami mencabut rencong, ditusukkannya ke tubuh sang isteri
yang serong. Sang suami kemudian melaporkan langsung kepada Sultan, dan
setelah itu di depan rajanya sang suami kemudian berharakiri (bunuh
diri) Sultan, yang oleh rakyatnya dihormati sebagai raja bijaksana dan
adil, jadi berang. Meurah Pupok disusulnya di gelanggang pacuan kuda dan
dipancungnya (dibunuh) sendiri di depan umum. Maka timbullah ucapan
kebanggaan orang Aceh: Adat bak Po Temeuruhoom, Hukom bak Syiah Kuala.
Adat dipelihara Sultan Iskandar Muda, sedang pelaksanaan hukum atau
agama di bawah pertimbangan Syiah Kuala. Murah Pupok dikuburkan di
kompleks pekuburan tentara Belanda yang terkenal dengan nama "KerKhoff
Peutjoet".
Kerkoff berasal
dari bahasa Belanda yang berarti kuburan, sedangkan Peutjoet atau asal
kata dari Pocut (putra kesayangan) Sultan Iskandar Muda yang dihukum
oleh ayahnya sendiri (Sultan Iskandar Muda) karena melakukan kesalahan
fatal dan dimakamkan di tengah-tengan perkuburan ini.
Pada relief
dinding gerbang makam tertulis nama-nama serdadu Belanda yang meninggal
dalam pertempuran dengan masyarakat Aceh (setiap relief ada 30 nama);
daerah pertempuran, seperti di Sigli, Moekim, Tjot Basetoel, Lambari en
Teunom, Kandang, Toeanko, Lambesoi, Koewala, Tjot Rang - Pajaoe,
Lepong Ara, Oleh Karang – Dango, dan Samalanga); dan tahun meninggal
para serdadu (1873-1910). Sekitar 2200 tentara Belanda termasuk 4
jenderalnya sejak tahun 1883 hingga 1940an dikuburkan di sini. Di antara
para serdadu Belanda tersebut ada beberapa nama prajurit Marsose yang
berasal dari Ambon, Manado dan Jawa. Para prajurit Marsose yang berasal
dari Jawa ditandai dengan identitas IF (inlander fuselier) di belakang
namanya, prajurit dari Ambon dengan tanda AMB, prajurit dari Manado
dengan tanda MND, dan serdadu Belanda dengan tanda EF/ F. Art.